Hei teman - teman selamat pagi.. bagaimana semalam mimpinya.? indah bukan.? atau teman - teman malah ada yang tidak tidur.? wah pasti bakal ngantuk sekali tuh. apalagi kalau nanti ketemu guru atau dosen yang sebenarnya bikin ngantuk tapi malah sangat killer. hmmm harus hati - hati banget ya teman - teman.
kali ini saya akan posting cerita dari novel yang telah saya berikan sinopsisnya semalam.. langsung ja deh.
Bagaimanakah kisah Gunawan selanjutnya.? tunggu di "Kepakan Sayap Burung Elang" berikutnya
kali ini saya akan posting cerita dari novel yang telah saya berikan sinopsisnya semalam.. langsung ja deh.
(Mutiara Hitam)-Kepakan Sayap Burung Elang :
Namaku
Gunawan, Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, kata pacar aku, aku bukan
orang yang romantis, aku tu nyebelin, paling gak apal ma yang namanya jalan dan
sering lupa. Aku sering berpikir romantis itu yang seperti apa, romantis itu
bagaimana caranya agar bisa terwujud. aku mempunyai dua saudara kandung, kakaku
namanya “Nanda”, nama panggilannya “wawan” semenjak tangannya patah dan
sekarang bengkok dan tidak bisa lurus kembali, teman-temanya memanggilna dengan
sebutan “gareng”. Kakakku seorang laki-laki yang tegar, penuh semangat, selalu
berusaha keras untuk mencapai keinginannya, tidak suka diatur, dan baik.
Sedangkan adikku namanya “setyo” nama
panggilannya “jentung” karena kalau disuruh lama. adikku adalah seorang
laki-laki yang lucu, gampang disuruh, tidak rewel, pintar, agak nakal sedikit, dan
gampang mutung. Bapakku adalah orang yang sangat bertanggung jawab terhadap
keluarga, selalu berjuang keras untuk menghidupi keluarga, selalu berhati-hati
dalam bertindak. Dan mamak adalah orang yang selalu berjuang keras untuk
membantu bapak dalam menghidupi keluarga, ibu sangat enak untuk aku curhat atau
sharing, Mamak selalu mendengarkan apa yang aku bicarakan, mamak selalu
membujuk bapak agar keinginanku dituruti.
Aku lahir di pulau jawa tepatnya di daerah
Jawa tengah yaitu Kebumen, aku belum mengerti apa-apa saat masih di Kebumen,
saat aku berusia 2,5 tahun, aku dibawa ke papua tepatnya di desa Kimbim kec.
Asologaima, waktu itu adekku “tyok” belum ada dan kakakku tidak ikut karena
ikut mbah dari mamak, sampai di wamena pada sore hari. Aku berdiri tepat di
depan rumah, rumah itu sangat kecil hanya berukuran 6X6 m, aku lihat dengan
cermat, “apa benar aku akan tinggal disini selama aku di Kimbim?” dalam hati
kubertanya.
Awalnya
aku tidak mau masuk, karena masih kecil jadi belum mengerti susahnya mencari
tempat tinggal didaerah itu, akhirnya aku dipaksa masuk oleh mamak, “ayo Gun
cepat masuk hari menjelang petang, nanti dibawa cepet kalau di luar”.
Kata bapak kepadaku sambil menarik aku kedalam
rumah. “iya mah”. Jawab aku sambil tertarik oleh tangan nyokap menuju pintu
yang sudah terbuka lebar.
Pada
malam pertamaku di Papua aku sangat menikmati dinginnya angin malam yang
menyentuh kulit, “oh….. begini suasana dimalam hari, dingin sekali rupanya”
kataku saat itu sambil tiduran diantara bapak dan ibu. Saat itu tidak ada
listrik, jadi penerangnya hanya sebuah petromak yang digantungkan di kawat yang
ditalikan kekayu penyangga atap rumah. Hari semakin larut malam dan akupun
tertidur.
Keesokan
harinya, inilah pertama kali aku merasakan pagi hari di Papua. Saat aku keluar
rumah ternyata didepan rumah banyak sekali orangnya, ada yang tidak memakai
pakaian, hanya memakai “koteka” (alat penutup kemaluan pria) dan yang
perempuanya hanya memakai rok yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang ada
disekitar papua, mungkin mereka sudah terbiasa dan adatnya seperti itu, jadi
mereka sangat enjoy sekali dengan penampilan yang seperti itu. Untuk orang
pendatang seperti aku memakai pakaian yang seperti biasa.
Saat
itu aku heran sekali mengapa di depan rumahku ramai sekali, ternyata depan
rumahku itu adalah pasar, namanya pasar kimbim. Jadi pasar tersebut dikelilingi
rumah-rumah pendatang yang berbentuk warung, termasuk rumahku. Karena rumahku
ini berbentuk warung, jadi warung ini digunakan ortuku untuk menjual kebutuhan
sehari-hari.
Karena
sorenya aku tidak mandi, aku ingin sekali mandi saat pagi itu, “mah! Aku pingin
mandi”. Kataku kepada ibu sambil menggaruk-garuk kepala. “iya gun, sana mandi
sama bapak dikali!” jawab nyokap kepadaku sambil membuka warung. “ayo gun ikut
bapak, bapak juga ingin mandi”, kata bapak kepadaku sesambi mengambil peralatan
mandi.
Kami
berdua berjalan kebelakang rumah menuju kali, karena kalinya berada dekat di
belakang rumah hanya berjarak 150 m, dari rumah kekali. Sesampainya dikali aku
tercengang saat melihat airnya, karena air kalinya sangat jernih dan belum
tercemar sangat segar rasanya kalau untuk mandi, air kali ini sangat dijaga
oleh orang wamena, karena mereka minum dari air kali ini tanpa proses dimasak
terlebih dahulu, mereka langsung meminum air ini dengan cara mengokop air
tersebut. Dan mereka tidak pernah sakit perut meminum air tersebut seperti itu,
menandakan air ini masih sangat terjaga kejernihanya dan belum tercemar.
Aku
langsung betah tinggal disini, tempatnya sangat mengasykkan dan ramah
orang-orangnya. Walaupun orang papua jika dilihat dari luar hitam, kotor dan
bau tetapi di dalam hatinya terdapat kebaikan. Makanya papua disebut dengan
mutiara hitam, yang aku ingat waktu aku main permainan karet dengan anak papua
aku sedikit curang, yang seharusnya aku kalah aku bilang aku yang dengan
berbagai alasan untuk membohonginya, dan herannya orang tuanya tidak marah saat
aku lari sambil membawa karet anak papua itu kedalam rumah, sebenarnya aku
merasa kasihan kepada anak itu, anak itu bernama Piyus.
Saat
aku berusia 5 tahun, aku dimasukan kesekolah SD Impres Kali Merah. Aku masih
ikut-ikutan saja, belum dimasukan secara resmi, karena disana tidak ada TK jadi
aku dimasukkan ke SD langsung walaupun itu hanya ikut-ikutan. Saat di tes aku
ternyata termasuk sudah bisa mengikuti pelajaran, dari situ aku mulai
dimasukkan SD tersebut dengan resmi oleh Kepala Sekolah tanpa sepengetahuan
bokap dan nyokap. Mungkin karena murid-murid yang lain sebagian besar anak
papua dan orang tua mereka tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dalam
belajar. Jadi waktu itu aku pintar sendiri. Hehehe….. maaf agak kepedean.
Saat
pulang sekolah, aku pulang bersama tiga teman baruku dikelas. Teman-temanku
yang baru ini namanya Karton, Mandowen, dan mikel. Mereka bertiga asli anak
papua dengan rambut keriting dan kulit berwarna gelap, tetapi mereka bertiga
sangat asyk, saat itu kita berjalan dengan asyknya sambil bercanda gurau, saat
ditengah perjalanan menuju rumah kita berhenti disebuah kali yang bernama kali
merah. Kali ini juga jernih airnya, saat itu aku diajak mencari udang. “ayo Gun
kita cari udang disini” ajak Karton kepadaku sambil membalikan sebuah batu
dengan perlahan. Ternyata saat Karton mengangkat tanganya perlahan dari air,
ada seekor udang yang lumayan besar dengan capit yang besar ditangannya.
“waaaawww…..besar sekali udang itu” kataku dengan terheran-heran. Begitu juga
dengan Mandowen dan mikel mereka berdua juga mendapatkan udang yang cukup
besar, dan aku pun langsung tertarik ingin mencoba mencarinya ketika aku
membalik-balikan batu aku mendapatkan udang yang berukuran sedang rasanya sudah
sangat bahagia sekali.
Saat
itu aku hanya medapatkan satu ekor udang. Karton, Mandowen dan Mikel
mendapatkan banyak ekor udang. Tanpa aku meminta mereka bertiga memberikan aku
sebagian udang mereka kepadaku untuk aku bawa pulang. “ohhhhh… betapa baiknya
kalian kepadaku” kataku dengan tercengang melihat mereka bertiga. Mereka
bertiga hanya tertawa dan kita pun melanjutkan perjalanan dengan jarak tempuh 7
Km, karena bokap ku belum mempunyai motor aku disuruh naik taksi, kebetulan
waktu pulangnya lama tidak ada taksi lewat jadi aku pulang bersama
teman-temanku.
Saat
itu aku tidak berjalan sepenuhnya sampai kerumah karena teman bokapku pegawai
puskesmas muncul dari belakang dengan menggunakan mobil dan mengajak kami
berempat untuk menaiki mobilnya, orang itu bernama pak Gito orangnya senang berhumor, karena pak Gito
tidak punya anak, aku dianggap sebagai anak angkatnya. kami berempat berpisah
saat karton, Mandowen dan Mikel turun sebelum pasar dimana tempat aku tinggal. Saat
hanya tinggal aku dengan pak Gito didalam mobil, aku disuruh menyetiri mobilnya
dengan posisi aku dipangku olehnya. Karena itu adalah hal yang pertama kali aku
rasakan dan aku belum tahu apa-apa tentang mengendarai mobil, jadi mobil itu
oleng kekiri dah hampir masuk ke saluran air dipinggir jalan, dan dengan reflek
dan kesigapan pak Gito akhirnya pak Gito dapat mengendalikan mobil sehingga
kami berdua pun selamat. Allhamdulliah, akhirnya aku pulang dengan selamat, dan
Pak Gito sekalian main kerumah dan berbincang-bincang dengan kedua orang tuaku.
Dipagi
harinya aku berangkat sekolah seperti biasa dengan menaiki taksi, saat itu
taksi yang aku tumpangi mogok mesinnya, jadi aku harus ganti taksi dan saat aku
sampai sekolah aku baru sadar tasku tertinggal ditaksi yang mogok tadi, dan aku
tidak membawa apa-apa kesekolah selain pakaian sekolah dan sepatu.
Karena
kejadian itu, aku dipanggil kepala sekolah “ Gun!. . ikut bapak ke kantor” ajak
bapak kepala sekolah kepadaku. “ Iya pak” jawab aku sambil merasa takut dihukum
dengan membuntuti di belakang bapak kepala sekolah menuju ke ruang kepala
sekolah.
Ternyata
sesampainnya di ruang kepala sekolah aku diberi hadiah sebuah tas lengkap
dengan isinya, “Ini Gun untuk kamu, jangan sampai ketinggalan lagi yha?” kata
bapak kepala sekolah dengan memberi senyuman kepadaku sehingga rasa takutku
hilang entah keman. “ terimakasih banyak bapak kepala sekolah, saya kira mau
dihukum pak, hehe…” jawab aku kepada bapak sekolah sambil memegang tas
pemberiannya. Setelah itu aku keluar dengan memasang muka bahagia.
Setelah
pembelajaran di sekolah berakhir, aku pulang dengan teman-temanku. Seperti
biasa saat aku pulang pasti tidak ada taksi yang lewat. Kami pulang berempat,
dan pertama kalinya aku diajak main kerumah mereka. Dan aku baru tahu rumah
asli orang papua. Dinding terbuat dari papan yang ditata melingkar dan di dalam
rumahnya diberi penyangga dengan sebatang kayu besar, dan atapnya dengan
alang-alang. Menciri khaskan ini adalah rumah adat papua.
Aku bermain-main dengan ketiga temanku
menelusuri hutan didalam hutan banyak sekali buah-buahan, pohon-pohon yang
masih asing bagiku. Ada buah yang bernama kelapa hutan, buahnya jauh lebih
kecil dari buah kelapa yang aslinya. Tetapi rasanya jauh lebih enak dan gurih.
Kalau kelapa jika sudah tua jika dimakan begitu saja pasti tidak enak tetapi
ini enak dan gurih. Bentuk buahnya lonjong, kecil berkulit keras dan tajam
dibagian ujungnya. Dan kami berjalan lagi tidak jauh dari situ ada buah seperti
buah strawberi tetapi ini juga lebih kecil bentuknya, dan asam rasanya. Dan
banyak buah-buahan yang lainnya di hutan itu. Setelah kami lelah berjalan
menelusuri hutan kami pun pulang. Saat itu tasku aku tinggal di rumah Mandowen,
saat pulang aku diantar oleh mereka bertiga. Sesampainnya dirumah aku langsung
ganti pakaian lalu tidur, saat aku bangun ibuku bertanya padaku,
“ Gun tas mu isinya ketela semua, buku dan
pensil kamu dimana? Tanya ibu kepadaku sambil membuka tasku. “yang benar bu,
kenapa bisa jadi ketela semua?” sahut aku dengan mendekati ibu dan melihat isi
tasku. “ohhhh… tadi aku main dulu kerumah
temen baruku bu, mungkin ditukar oleh mereka”. Jawab aku atas pertanyaan
ibu sambil membawa tasku kedalam kamar.
“kalau benar begitu tidak apa-apa gun, mereka
sangat membutuhkan itu mereka juga tidak mencuri, mereka mengganti pensil dan
bukumu dengan ketela” sahut ibu kepadaku sambil menjaga warung. “hahaha.. betul
itu bu mereka memang tidak mencuri, mereka hanya menukar”, jawab aku kepada
ibu. “coba kalau itu dijawa mungkin sudah hilang bersama tasmu gun, tidak
ditukar seperti ini,” kata ibu kepadaku. Aku jadi mengerti penduduk disini,
mereka tidak serakah, mereka senang berbagi. Itulah sebabnya papua disebut
dengan mutiara hitam.
Saat
kepemimpinan atau pemerintahan Bapak Suharto dan kemudian diganti oleh Bapak
B.J. Habibi, ketentraman dan kedamaian mulai terusik atas hadirnya orang-orang
luar negeri masuk ke Papua. Saat itulah aku merasakan ketidak nyamanan tinggal
di Papua, karena ulah orang-orang luar negeri yang memengaruhi penduduk asli
untuk merdeka sendiri. Penduduk peribumi dikompor-kompori atau dibujuk untuk mengusir
para pendatang agar pergi dari Papua. Dan setelah itu juga penduduk asli papua
sering perang antar suku, sehingga aku harus lari-lari untuk mencari tempat
yang aman. Jika perang suku terjadi aku sekeluarga mengungsi di rumah temanya
bokap yang menjabat sebagai kepala sekolah di SD ku, beliau mempunyai dua rumah
yang satu diperumahan SD ku yang satunya didekat keramaian yang aman dari
peperangan karena sudah dikotanya, bukan dipedalamanya seperti tempat tinggalku
saat ini. Kalau daerah Wamena yang sudah
dikota orang asli papua sudah mengenakan pakaian biasa dan banyak pendatangnya,
lain dengan yang dipedalaman yang masih menggunakan koteka bagi para pria dan yang
perempuan hanya menggunakan rok yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan disekitar.
Mereka mungkin mengenakan pakaian seperti itu biasa-biasa saja karena merupakan
suatu kebiasaan dan sudah menjadi budaya.
Di
Wamena terdapat sebuah tempat yang bernama Lembah baliem, tempat tersebut
sering dijadikan ajang pertunjukkan tarian pesek, perang perebutan babi, dan
bakar batu. Banyak turis-turis dari banyak Negara hadir ditempat tersebut untuk
menyaksikan pertunjukkan itu. Pertunjukkan itu sangat menarik untuk disaksikan
bersama keluarga.
Biasanya
pertunjukkan tersebut dilaksanakan pada hari kemerdekaan kita. Jika pertunjukan
itu diadakan aku sekeluarga dan orang-orang di sekitar pasar kimbim dating
kelembah baliem yang berjarak 20 km dari pasar kimbim untuk menyaksikan
pertunjukkan itu.
Saat
itu pertama kalinya aku menyaksikkan pertunjukkan tersebut, aku sangat senang
menyaksikannya karena pertunjukkan itu sangat menarik. “Pak tariannya bagus,”
kata ku sambil menyaksikan pertunjukkan, “iya… nak, kamu suka gun? Jawab bapak
dan bertanya kepadaku. “iya….pak aku sangat suka, gimana mak, mamak suka tidak
noton tarian itu? Jawab aku sambil bertanya kepada ibu. “ iya… gun bagus
tariannya sangat kompak gerakanya,” jawab ibu sambil menyaksikkan pertunjukkan
itu.
Di
tempat itu banyak juga orang-orang yang berjualan makanan. Karena penonton yang
menyaksikkan pertunjukkan sangat banyak. Saat ditengah-tengah pertunjukkan saya
haus, dan mengajak ibu membeli minuman. “mak… aku haus, beli minuman ya mak?”
kata ku sambil mengajak ibu. “ ayo nak! Mamak juga haus ayok kita beli minuman.
Bpk tunggu sini menjaga barang-barang.” Jawab ibu sambil berdiri mengajaku ikut
beli minuman dan meyuruh bapak untuk tetap disini.
Sesampainya
di warung yang menjual minuman, ternyata yang menjual adalah teman ibu arisan.
“buk! Beli minuman” kata ibu kepada yang memiliki warung, “loooo..Buk Ani to?
Ealah buk..buk ..jualan disini to buk.” Ujar ibu kepada temanya yang bernama
ibu Ani yang berjualan di Lembah Baliem. “walah buk. La iya ku jualan disini,
kalok ada pertunjukkan ini saya pasti jualan disini buk, sama siapa kesininya
buk?” jawab Ibu Ani sambil bertanya kepada ibu. “ sama suami dan anak buk, pada
pingin nonton karena sebelumnya belum pernah nonton, ini baru pertama kali
nonton.” Jawab ibu kepada Ibu Ani yang berjualan diwarung menjual minuman.
Karena ibuku dan Ibu Ani saling kenal karena sama-sama mengikuti arisan
ibu-ibu, jadi kami di beri minuman dengan cuma-cuma, tidak perlu mengeluarkan
uang. Lumayan, hehehehe.
Setelah
membeli minuman kami kembali kekursi untuk menyaksikan kembali sambil
membawakan minuman buat bapak yang sedang mengobrol dengan penonton yang lain. “pak…..ini
minumanya” kata ku kepada bapakku yang sedang duduk dikursi penonton. “makasih
ya nak…” jawab bapakku sambil mengambil minuman tersebut dan meminumnya. “itu
aku beli minuman itu gk bayar pak, dikasih ma temen arisan ibu. Hehe”. Ujar aku
sambil menyaksikkan pertunjukkan.”teman ibu siapa? Jualan disini juga?”. Tanya
bapak kepada aku dan ibu. “Buk Ani pak, temen arisan , iya dia jualan disini.”
Jawab ibu kepada bapak.
Hari
menjelang siang suasana di lembah baliem sudah terasa panas, kicauan burung pun
sudah bertambah banyak, para pemain sudah mulai lelah, dan acara pun berlanjut
ke bakar batu. Acara ini mungkin unik dan aneh kedengaranya, masak batu
dibakar? Hehe. Itu hanyalah nama sebuah acara adat papua. Sebenarnya memang
benar batu itu dibakar terlebih dahulu sampai benar-benar panas, dengan lama
pemanasan sampai satu jam. Kemudian dibuatlah lubang berbentuk persegi panjang
kira-kira 2X1 meter, untuk nantinya batu-batu yang dibakar tadi dimasukkan
kedalam lubang itu, lubangnya tidak terlalu dalam hanya setengah meter.
Kemudian
daun-daun dan rumput alang-alang disiapkan untuk menutupi batu. Dan nantinya
daun-daun dan rumput alang-alang itu untuk membungkus yang akan dimasak seperti daging ayam, ubi jalar, daun
ubi jalar dan daging babi. Dijadikan satu dalam beberapa tingkatan bawah
sendiri daging babi, yang tingkat kedua daging ayam, tingkat ketiga ubi jalar,
yang tingkat teratas daun ubi jalar.
Sambalnya
dimasak dengan cara digantungkan di kayu yang memanjang diatas tumpukan yang
dimasak tadi. Tunggu selama dua jam sambil melakukan tarian-tarian pesek agar
tidak bosan menunggu bakar batu matang.
Mereka
selalu melakukan pertunjukkan yang menghibur, walaupun mereka tidak dibayar,
mereka melakukan pertunjukkan itu karena sudah merupakan sebuah kebiasaan dan
untuk hiburan semata. Memang budaya mereka seperti itu.
Setelah
bakar batu matang acara pun selesai, saya dan keluarga bersama
pengunjung-pengunjung yang lain pun pulang dengan mengantongi kepuasan
tersendiri, karena sudah terhibur oleh pertunjukkan tadi. Saya, bapak, ibu dan
rombongan pasar kimbim pun pulang bersama-sama lagi.
Sesampainya
dirumah, sayapun langsung membaringkan badan yang telah terkuras tenaganya
untuk menonotn pertunjukkan walaupun hanya duduk dan melihat rasanya sudah
capek, apalagi yang melakukan pertunjukkan?, ntah bagaimana rasanya, tapi
memang menyenangkan pertunjukkan tersebut. “pak…mak… capek juga ya rasanya, dah
sampai rumah baru terasa capeknya.” Kataku sambil terbaring dikasur. “iya ya..
..capek juga, padahal hanya menonton,” kata bapak sambil duduk di kursi dekat
tempat tidur yang aku tiduri. Ibu pun menyusul aku berbaring dikasur.
Pada
keesokan harinya aku berangkat kesekolah seperti biasa. Pulang juga seperti
biasa, saat sore hari, hujan turun
dengan derasnya membuat ranting-ranting pepohonan didekat kali patah dan jatuh
ke kali kemudian hanyut terbawa arus kali dan menyumbat digorong-gorong
jembatan. Sehingga mengakibatkan air kali meluap dan membuat banjir
disekeliling pasar kimbim termasuk rumahku ikut terendam bajir, Karen kali
tersebut tepat berada dibelakang rumahku. Jadi jika air kali meluap pasti masuk
kerumah.
Saat
banjir melanda hari sudah mulai gelap aku, bapak, dan ibu hanya bisa meratapi
rumah yang terendap air setinggi 30 cm, yang membawa sebagian isi rumah. Tetapi
bapak segera bertindak untuk menyelamatkan barang-barang yang hanyut dengan
member papan yang di palangkan kepintu, agar air ttp bisa lwt tetapi barang-barang
tidak ikut keluar sampai luar rumah. Aku dan ibu hanya terdiam duduk diatas
meja dengan selimutan sarung, dan bapak pun setelah memberi palang dengan papan
ikut naik ke meja. Karena kedinginan, ibu pun memberinya sarung dan disuruh
ganti pakaian. Cuaca di Papua atau di wamena jika malam hari sangat dingin,
karena terletak dibawah gunung Jaya wijaya. Tetapi puncak gunung tersebut tidak
pernah terlhat walaupun siang hari karena selalu tertutup oleh kabut.
Selama
aku di Papua, aku tidak pernah melihat langsung burung cendrawasih, walaupun
itu merupakan burung asal papua dan habitatnya memang di papua. Itu yang masih
mengganjal dibenakku sampai sekarang, bagaimana bisa selama 6 tahun tinggal di
Papua aku malah belum pernah melihat burung cendrawasih.
Hari
semakin malam, air pun semakin surut. Aku, bapak dan ibu ketempat tidur dan
makan malam terlebih dahulu. Sambil memandangi air yang masuk kedalam rumah.
Betapa menyedihkan waktu itu. Setelah makan aku sekeluarga pun tidur. Dan
menikmati malam yang sangat menyedihkan ini.
Keesokan
harinya air sudah surut, aku sekeluarga pun bersih-bersih dalam rumah karena
kotror sekali, penuh dangan lumpur. Begitu juga dengan orang-orang dilingkungan
ini, mereka juga membersihkan rumah mereka yang penuh dengan lumpur karena
banjir tadi malam.
“pak
rumah kita jadi banyak lumpur begini ya?” Tanya aku kepada bapak. “iya gun… ini
karena banjir tadi malam, air tadi malem membawa lumpur ini kesini.” Jawab
bapak kepadaku sambil menyerok-nyerok lumpur. Aku pun ikut membantu walau hanya
sedikit. Hehe. Waktu itu adalah hari minggu jadi aku tidak berangkat kesekolah.
Untung saja banjir semalam tidak tinggi hanya 30 cm. kalau sampai 2 m habis
semua barang-barang dirumah ini.
Setelah
semuanya bersih, barang-barang yang tersangkut-sangkut dipintu aku ambil satu
persatu, kemudian aku tata kembali ditempatnya masing-masing. Betapa berantakan
saat banjir itu melanda rumahku, dan rumah-rumah lainnya juga. Keesokan harinya
suasananya sudah kembali normal seperti biasanya, sudah tidak kotor lagi karena
lumpur.
Empat
tahun kemudian, ketidak nyamanan tinggal di papua mulai terasa, sering kali
terjadi peperangan antar suku. Para pendatang terancam akan dibunuh. Masjid
didekat puskesmas dibakar oleh GPK (Gerakan Papua Merdeka), Al-Quran sudah tak
berwujud lagi, sajadah sudah menjadi abu, dan masjid sudah rata dengan tanah.
Ntah karma apa yang pantas mereka terima atas perbuatan mereka yang mau merdeka
sendiri. Tetapi yang seperti itu hanyalah orang-orang dari GPK (Gerakan Papua
Merdeka), penduduk asli yang tidak tergabung dalam gerakan tersebut tidak
pernah mengusik pendatang, mereka malah senang sekali membantu pendatang,
mereka mau dekat dengan pendatang.
Apa
yang dipikirkan oleh gerakan tersebut sangat menyimpang dari pancasila yaitu
sila yang ketiga (persatuan republik Indonesia). Jika mereka mendirikan Negara
sendiri, bagaimana mereka dapat membangun Negara tersebut, sedangkan mereka
masih sangat memerlukan bantuan dari pemerintah. Mungkin bisa menjadi Negara
termiskin.
6
tahun kemudian, bapak sudah memikirkan matang-matang untuk pindah dari papua,
karena sudah tidak aman lagi. Semua pendatang terancam akan dibunuh kecuali
guru, guru sangat dihormati dan dihargai di Papua, tetapi Bapak tetap merasa
takut, siapa yang tidak takut jika sudah terancam seperti itu. Polisi dan TNI
sudah tidak berkutik lagi, karena sangat sulitnya mengatasi masalah tersebut,
semua aparat nyawanya sudah pada terancam, sehingga para aparat banyak yang tidak berani bertugas di papua khususnya
daerah wamena, Kimbim.
Tetapi
daerah papua yang lainnya seperti Jayapura, sorong, dan yang lainnya mungkin
aman-aman saja jauh dari GPK. Di Wamena tempatnya GPK, orang-orangnya sudah
terbujuk dan terhasud oleh orang-orang luar, agar menyingkirkan para pendatang,
mereka lebih percaya kepada orang luar dari pada sama-sama orang Indonesia.
Akhirnya
aku dulu yang diantarkan pulang ke Jawa oleh bapak dan ibuku. Sebelum itu,
dipasar kimbim sebenarnya banyak anak-anak pendatang yang seumuran denganku
seperti (Ari) dia anak yang nakal tetapi baik, dia berasal dari Sulawesi. Dan
yang kedua (Ahmad) dia anak yang baik, kalahan, gak berani melawan bila ada
yang mengejeknya walaupun yang mengejek lebih kecil dari pada dia, dia berasal
dari Makasar. Yang ketiga (sauwing) dia paling kecil diantara teman-teman yang
lain, dia berasal dari Sulawesi juga
sama seperti Ari. Bapaknya Sauwing adalah orang cina.
Yang
keempat (Ryan) anaknya baik dia sering sekali ditinggal sendirian dirumah,
anaknya baik aku suka main bersama dia karena dia mempunyai banyak mainan,
bapaknya adalah seorang polisi, aku sudah pernah diajak olehnya mainan senapan
angin milik bapaknya, tetapi bapaknya tidak tahu karena bapaknya sedang
bertugas. Yang terakhir (Adnan) dia sama sepertiku berasal dari Jawa, anaknya
nakal juga seperti Ari tetapi masih lebih nakal, dan dia sangat ceroboh.
Dia
pernah mengajaku bermain dikali belakang rumah, waktu itu arus kali tidak
terlalu deras, dia membawa sepedaku dan aku membawa sepedanya. Saat hampir
sampai di gorong-gorong bawah jembatan airnya mulai dalam, dia tetap maju dan
sampai dia sangat dekat dengan gorong-gorong air didekat gorong-gorong tersebut
dalam. Dia terpeleset dan masuk ke air yang dalam itu bersama sepedaku, waktu
itu yang aku teriyaki adalah sepedaku. “sepedaku!!!!!!!!!...sepedaku
tenggelam!!!!!” teriak aku sambil menangisi sepedaku yang tenggelam bersama
Adnan, Adnan terengap-engap tak berdaya didalam air karena dia tidak bisa
berenang.
Karena
teriakanku, tidak lama kemudian ada orang
yang datang menolong Adnan dan mengangkat sepedaku. Orang itu adalah (Buluek) walaupun dia bau,
tetapi dia baik hati, dia sudah menolong Adnan dan mengangkat sepedaku, aku
sangat senang sepedaku kembali, dan Adnan pun baik-baik saja hanya sedikit sok.
Saat
itupun bapak dan ibuku bersama orang-orang yang ada disekitar situ menuju ke
kami, dan orang tuaku memarahi aku karena bermain-main dikali. “Gun!!!! Kamu
kenapa main dikali, berbahaya!!!” kata ibu kepadaku sambil memarahi aku, aku
pun hanya mendengarkannya sambil telingaku dijewer sampai merah.
Adnan
yang basah kuyup karena tenggelam dikali yang dalam, diantarkan pulang oleh
bapak kerumahnya. Sambil menangis karena sok habis tenggelam dikali yang dalam.
Kalau saat itu tidak ada yang menolong ntah bagaimana jadinya, nasib Adnan
sekarang, tapi kenyataan berkata lain, Adnan masih selamat. Aku pun sudah
ketakutan atas kejadian itu, melihat temanku terengap-engap didalam air
sedangkan aku hanya bisa teriak.
Aku
tidak tau Adnan dimarahi oleh orang tuannya atau tidak karena aku tidak ikut
mengantar dia pulang, aku langsung disuruh masuk rumah oleh ibuku, “pulang
kerumah sekarang gun”, begitulah perintah ibu kepadaku sambil menjewerku.
“Aduh!! Aduhh!!!! Sakit mak” teriaku sambil kesakitan karena dijewer. “biar
kamu tidak ngulangin ini lagi, biar kapok”. Jawab ibu kepadaku seperti
meluapkan kekesalanya padaku, makanya aku dijewer. “tapi kan aku cuma ngikutin
Adnan mak, bukan aku yang ngajak main kesini” jawab aku membela diri, karena
memang benar aku hanya mengikuti Adnan, aku yang diajak olehnya.
Sampai
dirumah, aku langsung membuka pintu kamar tidur lalu naik ketempat tidur, ku
baringkan badanku sambil mengingat-ngingat kejadian tadi, aku benar-benar tidak
menyangka. Aku seperti dedaunan yang tertiup angin kencang, tidak bisa
mengendalikan diri sendiri, bisa-bisanya aku mengikuti Adnan sampai kekali, dan
tukaran sepeda juga. Mungkin kalau aku tadi dirumah saja dan menolak ajakan
Adnan, mungkin tidak akan terjadi masalah ini, ya….
Sudahlah yang terjadi biarlah terjadi, yang berlalu biarlah berlalu. Lama-lama
aku tertidur dan memasuki kelelapan tidur. Itulah kenanganku saat aku tinggal
di Papua tepatnya di Wamena di desa kimbim.
***
Bagaimanakah kisah Gunawan selanjutnya.? tunggu di "Kepakan Sayap Burung Elang" berikutnya
0 komentar:
Posting Komentar