728x90 AdSpace

  • Latest News

    Mas Dafri Maulana. Diberdayakan oleh Blogger.

    Followers

    Total Tayangan Halaman

    Bottom Kiri

    Entri Populer

    Selasa, 08 Oktober 2013

    Mutiara Hitam - Novel Kepakan Sayap Burung Elang

    Hei teman - teman selamat pagi.. bagaimana semalam mimpinya.? indah bukan.? atau teman - teman malah ada yang tidak tidur.? wah pasti bakal ngantuk sekali tuh. apalagi kalau nanti ketemu guru atau dosen yang sebenarnya bikin ngantuk tapi malah sangat killer. hmmm harus hati - hati banget ya teman - teman.

    kali ini saya akan posting cerita dari novel yang telah saya berikan sinopsisnya semalam.. langsung ja deh.


    (Mutiara Hitam)-Kepakan Sayap Burung Elang  :  



    Namaku Gunawan, Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, kata pacar aku, aku bukan orang yang romantis, aku tu nyebelin, paling gak apal ma yang namanya jalan dan sering lupa. Aku sering berpikir romantis itu yang seperti apa, romantis itu bagaimana caranya agar bisa terwujud. aku mempunyai dua saudara kandung, kakaku namanya “Nanda”, nama panggilannya “wawan” semenjak tangannya patah dan sekarang bengkok dan tidak bisa lurus kembali, teman-temanya memanggilna dengan sebutan “gareng”. Kakakku seorang laki-laki yang tegar, penuh semangat, selalu berusaha keras untuk mencapai keinginannya, tidak suka diatur, dan baik.
     Sedangkan adikku namanya “setyo” nama panggilannya “jentung” karena kalau disuruh lama. adikku adalah seorang laki-laki yang lucu, gampang disuruh, tidak rewel, pintar, agak nakal sedikit, dan gampang mutung. Bapakku adalah orang yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga, selalu berjuang keras untuk menghidupi keluarga, selalu berhati-hati dalam bertindak. Dan mamak adalah orang yang selalu berjuang keras untuk membantu bapak dalam menghidupi keluarga, ibu sangat enak untuk aku curhat atau sharing, Mamak selalu mendengarkan apa yang aku bicarakan, mamak selalu membujuk bapak agar keinginanku dituruti.
     Aku lahir di pulau jawa tepatnya di daerah Jawa tengah yaitu Kebumen, aku belum mengerti apa-apa saat masih di Kebumen, saat aku berusia 2,5 tahun, aku dibawa ke papua tepatnya di desa Kimbim kec. Asologaima, waktu itu adekku “tyok” belum ada dan kakakku tidak ikut karena ikut mbah dari mamak, sampai di wamena pada sore hari. Aku berdiri tepat di depan rumah, rumah itu sangat kecil hanya berukuran 6X6 m, aku lihat dengan cermat, “apa benar aku akan tinggal disini selama aku di Kimbim?” dalam hati kubertanya.
    Awalnya aku tidak mau masuk, karena masih kecil jadi belum mengerti susahnya mencari tempat tinggal didaerah itu, akhirnya aku dipaksa masuk oleh mamak, “ayo Gun cepat masuk hari menjelang petang, nanti dibawa cepet kalau di luar”.
     Kata bapak kepadaku sambil menarik aku kedalam rumah. “iya mah”. Jawab aku sambil tertarik oleh tangan nyokap menuju pintu yang sudah terbuka lebar.
    Pada malam pertamaku di Papua aku sangat menikmati dinginnya angin malam yang menyentuh kulit, “oh….. begini suasana dimalam hari, dingin sekali rupanya” kataku saat itu sambil tiduran diantara bapak dan ibu. Saat itu tidak ada listrik, jadi penerangnya hanya sebuah petromak yang digantungkan di kawat yang ditalikan kekayu penyangga atap rumah. Hari semakin larut malam dan akupun tertidur.
    Keesokan harinya, inilah pertama kali aku merasakan pagi hari di Papua. Saat aku keluar rumah ternyata didepan rumah banyak sekali orangnya, ada yang tidak memakai pakaian, hanya memakai “koteka” (alat penutup kemaluan pria) dan yang perempuanya hanya memakai rok yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang ada disekitar papua, mungkin mereka sudah terbiasa dan adatnya seperti itu, jadi mereka sangat enjoy sekali dengan penampilan yang seperti itu. Untuk orang pendatang seperti aku memakai pakaian yang seperti biasa.
    Saat itu aku heran sekali mengapa di depan rumahku ramai sekali, ternyata depan rumahku itu adalah pasar, namanya pasar kimbim. Jadi pasar tersebut dikelilingi rumah-rumah pendatang yang berbentuk warung, termasuk rumahku. Karena rumahku ini berbentuk warung, jadi warung ini digunakan ortuku untuk menjual kebutuhan sehari-hari.
    Karena sorenya aku tidak mandi, aku ingin sekali mandi saat pagi itu, “mah! Aku pingin mandi”. Kataku kepada ibu sambil menggaruk-garuk kepala. “iya gun, sana mandi sama bapak dikali!” jawab nyokap kepadaku sambil membuka warung. “ayo gun ikut bapak, bapak juga ingin mandi”, kata bapak kepadaku sesambi mengambil peralatan mandi.
    Kami berdua berjalan kebelakang rumah menuju kali, karena kalinya berada dekat di belakang rumah hanya berjarak 150 m, dari rumah kekali. Sesampainya dikali aku tercengang saat melihat airnya, karena air kalinya sangat jernih dan belum tercemar sangat segar rasanya kalau untuk mandi, air kali ini sangat dijaga oleh orang wamena, karena mereka minum dari air kali ini tanpa proses dimasak terlebih dahulu, mereka langsung meminum air ini dengan cara mengokop air tersebut. Dan mereka tidak pernah sakit perut meminum air tersebut seperti itu, menandakan air ini masih sangat terjaga kejernihanya dan belum tercemar.
    Aku langsung betah tinggal disini, tempatnya sangat mengasykkan dan ramah orang-orangnya. Walaupun orang papua jika dilihat dari luar hitam, kotor dan bau tetapi di dalam hatinya terdapat kebaikan. Makanya papua disebut dengan mutiara hitam, yang aku ingat waktu aku main permainan karet dengan anak papua aku sedikit curang, yang seharusnya aku kalah aku bilang aku yang dengan berbagai alasan untuk membohonginya, dan herannya orang tuanya tidak marah saat aku lari sambil membawa karet anak papua itu kedalam rumah, sebenarnya aku merasa kasihan kepada anak itu, anak itu bernama Piyus.
    Saat aku berusia 5 tahun, aku dimasukan kesekolah SD Impres Kali Merah. Aku masih ikut-ikutan saja, belum dimasukan secara resmi, karena disana tidak ada TK jadi aku dimasukkan ke SD langsung walaupun itu hanya ikut-ikutan. Saat di tes aku ternyata termasuk sudah bisa mengikuti pelajaran, dari situ aku mulai dimasukkan SD tersebut dengan resmi oleh Kepala Sekolah tanpa sepengetahuan bokap dan nyokap. Mungkin karena murid-murid yang lain sebagian besar anak papua dan orang tua mereka tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dalam belajar. Jadi waktu itu aku pintar sendiri. Hehehe….. maaf agak kepedean.
    Saat pulang sekolah, aku pulang bersama tiga teman baruku dikelas. Teman-temanku yang baru ini namanya Karton, Mandowen, dan mikel. Mereka bertiga asli anak papua dengan rambut keriting dan kulit berwarna gelap, tetapi mereka bertiga sangat asyk, saat itu kita berjalan dengan asyknya sambil bercanda gurau, saat ditengah perjalanan menuju rumah kita berhenti disebuah kali yang bernama kali merah. Kali ini juga jernih airnya, saat itu aku diajak mencari udang. “ayo Gun kita cari udang disini” ajak Karton kepadaku sambil membalikan sebuah batu dengan perlahan. Ternyata saat Karton mengangkat tanganya perlahan dari air, ada seekor udang yang lumayan besar dengan capit yang besar ditangannya. “waaaawww…..besar sekali udang itu” kataku dengan terheran-heran. Begitu juga dengan Mandowen dan mikel mereka berdua juga mendapatkan udang yang cukup besar, dan aku pun langsung tertarik ingin mencoba mencarinya ketika aku membalik-balikan batu aku mendapatkan udang yang berukuran sedang rasanya sudah sangat bahagia sekali. 
    Saat itu aku hanya medapatkan satu ekor udang. Karton, Mandowen dan Mikel mendapatkan banyak ekor udang. Tanpa aku meminta mereka bertiga memberikan aku sebagian udang mereka kepadaku untuk aku bawa pulang. “ohhhhh… betapa baiknya kalian kepadaku” kataku dengan tercengang melihat mereka bertiga. Mereka bertiga hanya tertawa dan kita pun melanjutkan perjalanan dengan jarak tempuh 7 Km, karena bokap ku belum mempunyai motor aku disuruh naik taksi, kebetulan waktu pulangnya lama tidak ada taksi lewat jadi aku pulang bersama teman-temanku.
    Saat itu aku tidak berjalan sepenuhnya sampai kerumah karena teman bokapku pegawai puskesmas muncul dari belakang dengan menggunakan mobil dan mengajak kami berempat untuk menaiki mobilnya, orang  itu bernama pak Gito  orangnya senang berhumor, karena pak Gito tidak punya anak, aku dianggap sebagai anak angkatnya. kami berempat berpisah saat karton, Mandowen dan Mikel turun sebelum pasar dimana tempat aku tinggal. Saat hanya tinggal aku dengan pak Gito didalam mobil, aku disuruh menyetiri mobilnya dengan posisi aku dipangku olehnya. Karena itu adalah hal yang pertama kali aku rasakan dan aku belum tahu apa-apa tentang mengendarai mobil, jadi mobil itu oleng kekiri dah hampir masuk ke saluran air dipinggir jalan, dan dengan reflek dan kesigapan pak Gito akhirnya pak Gito dapat mengendalikan mobil sehingga kami berdua pun selamat. Allhamdulliah, akhirnya aku pulang dengan selamat, dan Pak Gito sekalian main kerumah dan berbincang-bincang dengan kedua orang tuaku.
    Dipagi harinya aku berangkat sekolah seperti biasa dengan menaiki taksi, saat itu taksi yang aku tumpangi mogok mesinnya, jadi aku harus ganti taksi dan saat aku sampai sekolah aku baru sadar tasku tertinggal ditaksi yang mogok tadi, dan aku tidak membawa apa-apa kesekolah selain pakaian sekolah dan sepatu.
    Karena kejadian itu, aku dipanggil kepala sekolah “ Gun!. . ikut bapak ke kantor” ajak bapak kepala sekolah kepadaku. “ Iya pak” jawab aku sambil merasa takut dihukum dengan membuntuti di belakang bapak kepala sekolah menuju ke ruang kepala sekolah.
    Ternyata sesampainnya di ruang kepala sekolah aku diberi hadiah sebuah tas lengkap dengan isinya, “Ini Gun untuk kamu, jangan sampai ketinggalan lagi yha?” kata bapak kepala sekolah dengan memberi senyuman kepadaku sehingga rasa takutku hilang entah keman. “ terimakasih banyak bapak kepala sekolah, saya kira mau dihukum pak, hehe…” jawab aku kepada bapak sekolah sambil memegang tas pemberiannya. Setelah itu aku keluar dengan memasang muka bahagia.
    Setelah pembelajaran di sekolah berakhir, aku pulang dengan teman-temanku. Seperti biasa saat aku pulang pasti tidak ada taksi yang lewat. Kami pulang berempat, dan pertama kalinya aku diajak main kerumah mereka. Dan aku baru tahu rumah asli orang papua. Dinding terbuat dari papan yang ditata melingkar dan di dalam rumahnya diberi penyangga dengan sebatang kayu besar, dan atapnya dengan alang-alang. Menciri khaskan ini adalah rumah adat papua.
     Aku bermain-main dengan ketiga temanku menelusuri hutan didalam hutan banyak sekali buah-buahan, pohon-pohon yang masih asing bagiku. Ada buah yang bernama kelapa hutan, buahnya jauh lebih kecil dari buah kelapa yang aslinya. Tetapi rasanya jauh lebih enak dan gurih. Kalau kelapa jika sudah tua jika dimakan begitu saja pasti tidak enak tetapi ini enak dan gurih. Bentuk buahnya lonjong, kecil berkulit keras dan tajam dibagian ujungnya. Dan kami berjalan lagi tidak jauh dari situ ada buah seperti buah strawberi tetapi ini juga lebih kecil bentuknya, dan asam rasanya. Dan banyak buah-buahan yang lainnya di hutan itu. Setelah kami lelah berjalan menelusuri hutan kami pun pulang. Saat itu tasku aku tinggal di rumah Mandowen, saat pulang aku diantar oleh mereka bertiga. Sesampainnya dirumah aku langsung ganti pakaian lalu tidur, saat aku bangun ibuku bertanya padaku, 
     “ Gun tas mu isinya ketela semua, buku dan pensil kamu dimana? Tanya ibu kepadaku sambil membuka tasku. “yang benar bu, kenapa bisa jadi ketela semua?” sahut aku dengan mendekati ibu dan melihat isi tasku. “ohhhh… tadi aku main dulu kerumah  temen baruku bu, mungkin ditukar oleh mereka”. Jawab aku atas pertanyaan ibu sambil membawa tasku kedalam kamar.
     “kalau benar begitu tidak apa-apa gun, mereka sangat membutuhkan itu mereka juga tidak mencuri, mereka mengganti pensil dan bukumu dengan ketela” sahut ibu kepadaku sambil menjaga warung. “hahaha.. betul itu bu mereka memang tidak mencuri, mereka hanya menukar”, jawab aku kepada ibu. “coba kalau itu dijawa mungkin sudah hilang bersama tasmu gun, tidak ditukar seperti ini,” kata ibu kepadaku. Aku jadi mengerti penduduk disini, mereka tidak serakah, mereka senang berbagi. Itulah sebabnya papua disebut dengan mutiara hitam.
    Saat kepemimpinan atau pemerintahan Bapak Suharto dan kemudian diganti oleh Bapak B.J. Habibi, ketentraman dan kedamaian mulai terusik atas hadirnya orang-orang luar negeri masuk ke Papua. Saat itulah aku merasakan ketidak nyamanan tinggal di Papua, karena ulah orang-orang luar negeri yang memengaruhi penduduk asli untuk merdeka sendiri. Penduduk peribumi dikompor-kompori atau dibujuk untuk mengusir para pendatang agar pergi dari Papua. Dan setelah itu juga penduduk asli papua sering perang antar suku, sehingga aku harus lari-lari untuk mencari tempat yang aman. Jika perang suku terjadi aku sekeluarga mengungsi di rumah temanya bokap yang menjabat sebagai kepala sekolah di SD ku, beliau mempunyai dua rumah yang satu diperumahan SD ku yang satunya didekat keramaian yang aman dari peperangan karena sudah dikotanya, bukan dipedalamanya seperti tempat tinggalku saat ini.  Kalau daerah Wamena yang sudah dikota orang asli papua sudah mengenakan pakaian biasa dan banyak pendatangnya, lain dengan yang dipedalaman yang masih menggunakan koteka bagi para pria dan yang perempuan hanya menggunakan rok yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan disekitar. Mereka mungkin mengenakan pakaian seperti itu biasa-biasa saja karena merupakan suatu kebiasaan dan sudah menjadi budaya.
    Di Wamena terdapat sebuah tempat yang bernama Lembah baliem, tempat tersebut sering dijadikan ajang pertunjukkan tarian pesek, perang perebutan babi, dan bakar batu. Banyak turis-turis dari banyak Negara hadir ditempat tersebut untuk menyaksikan pertunjukkan itu. Pertunjukkan itu sangat menarik untuk disaksikan bersama keluarga.
    Biasanya pertunjukkan tersebut dilaksanakan pada hari kemerdekaan kita. Jika pertunjukan itu diadakan aku sekeluarga dan orang-orang di sekitar pasar kimbim dating kelembah baliem yang berjarak 20 km dari pasar kimbim untuk menyaksikan pertunjukkan itu.
    Saat itu pertama kalinya aku menyaksikkan pertunjukkan tersebut, aku sangat senang menyaksikannya karena pertunjukkan itu sangat menarik. “Pak tariannya bagus,” kata ku sambil menyaksikan pertunjukkan, “iya… nak, kamu suka gun? Jawab bapak dan bertanya kepadaku. “iya….pak aku sangat suka, gimana mak, mamak suka tidak noton tarian itu? Jawab aku sambil bertanya kepada ibu. “ iya… gun bagus tariannya sangat kompak gerakanya,” jawab ibu sambil menyaksikkan pertunjukkan itu.
    Di tempat itu banyak juga orang-orang yang berjualan makanan. Karena penonton yang menyaksikkan pertunjukkan sangat banyak. Saat ditengah-tengah pertunjukkan saya haus, dan mengajak ibu membeli minuman. “mak… aku haus, beli minuman ya mak?” kata ku sambil mengajak ibu. “ ayo nak! Mamak juga haus ayok kita beli minuman. Bpk tunggu sini menjaga barang-barang.” Jawab ibu sambil berdiri mengajaku ikut beli minuman dan meyuruh bapak untuk tetap disini.  
    Sesampainya di warung yang menjual minuman, ternyata yang menjual adalah teman ibu arisan. “buk! Beli minuman” kata ibu kepada yang memiliki warung, “loooo..Buk Ani to? Ealah buk..buk ..jualan disini to buk.” Ujar ibu kepada temanya yang bernama ibu Ani yang berjualan di Lembah Baliem. “walah buk. La iya ku jualan disini, kalok ada pertunjukkan ini saya pasti jualan disini buk, sama siapa kesininya buk?” jawab Ibu Ani sambil bertanya kepada ibu. “ sama suami dan anak buk, pada pingin nonton karena sebelumnya belum pernah nonton, ini baru pertama kali nonton.” Jawab ibu kepada Ibu Ani yang berjualan diwarung menjual minuman. Karena ibuku dan Ibu Ani saling kenal karena sama-sama mengikuti arisan ibu-ibu, jadi kami di beri minuman dengan cuma-cuma, tidak perlu mengeluarkan uang. Lumayan, hehehehe.
    Setelah membeli minuman kami kembali kekursi untuk menyaksikan kembali sambil membawakan minuman buat bapak yang sedang mengobrol dengan penonton yang lain. “pak…..ini minumanya” kata ku kepada bapakku yang sedang duduk dikursi penonton. “makasih ya nak…” jawab bapakku sambil mengambil minuman tersebut dan meminumnya. “itu aku beli minuman itu gk bayar pak, dikasih ma temen arisan ibu. Hehe”. Ujar aku sambil menyaksikkan pertunjukkan.”teman ibu siapa? Jualan disini juga?”. Tanya bapak kepada aku dan ibu. “Buk Ani pak, temen arisan , iya dia jualan disini.” Jawab ibu kepada bapak.
    Hari menjelang siang suasana di lembah baliem sudah terasa panas, kicauan burung pun sudah bertambah banyak, para pemain sudah mulai lelah, dan acara pun berlanjut ke bakar batu. Acara ini mungkin unik dan aneh kedengaranya, masak batu dibakar? Hehe. Itu hanyalah nama sebuah acara adat papua. Sebenarnya memang benar batu itu dibakar terlebih dahulu sampai benar-benar panas, dengan lama pemanasan sampai satu jam. Kemudian dibuatlah lubang berbentuk persegi panjang kira-kira 2X1 meter, untuk nantinya batu-batu yang dibakar tadi dimasukkan kedalam lubang itu, lubangnya tidak terlalu dalam hanya setengah meter.
    Kemudian daun-daun dan rumput alang-alang disiapkan untuk menutupi batu. Dan nantinya daun-daun dan rumput alang-alang itu untuk membungkus yang akan  dimasak seperti daging ayam, ubi jalar, daun ubi jalar dan daging babi. Dijadikan satu dalam beberapa tingkatan bawah sendiri daging babi, yang tingkat kedua daging ayam, tingkat ketiga ubi jalar, yang tingkat teratas daun ubi jalar.
    Sambalnya dimasak dengan cara digantungkan di kayu yang memanjang diatas tumpukan yang dimasak tadi. Tunggu selama dua jam sambil melakukan tarian-tarian pesek agar tidak bosan menunggu bakar batu matang.
    Mereka selalu melakukan pertunjukkan yang menghibur, walaupun mereka tidak dibayar, mereka melakukan pertunjukkan itu karena sudah merupakan sebuah kebiasaan dan untuk hiburan semata. Memang budaya mereka seperti itu.
    Setelah bakar batu matang acara pun selesai, saya dan keluarga bersama pengunjung-pengunjung yang lain pun pulang dengan mengantongi kepuasan tersendiri, karena sudah terhibur oleh pertunjukkan tadi. Saya, bapak, ibu dan rombongan pasar kimbim pun pulang bersama-sama lagi.
    Sesampainya dirumah, sayapun langsung membaringkan badan yang telah terkuras tenaganya untuk menonotn pertunjukkan walaupun hanya duduk dan melihat rasanya sudah capek, apalagi yang melakukan pertunjukkan?, ntah bagaimana rasanya, tapi memang menyenangkan pertunjukkan tersebut. “pak…mak… capek juga ya rasanya, dah sampai rumah baru terasa capeknya.” Kataku sambil terbaring dikasur. “iya ya.. ..capek juga, padahal hanya menonton,” kata bapak sambil duduk di kursi dekat tempat tidur yang aku tiduri. Ibu pun menyusul aku berbaring dikasur.
    Pada keesokan harinya aku berangkat kesekolah seperti biasa. Pulang juga seperti biasa, saat sore  hari, hujan turun dengan derasnya membuat ranting-ranting pepohonan didekat kali patah dan jatuh ke kali kemudian hanyut terbawa arus kali dan menyumbat digorong-gorong jembatan. Sehingga mengakibatkan air kali meluap dan membuat banjir disekeliling pasar kimbim termasuk rumahku ikut terendam bajir, Karen kali tersebut tepat berada dibelakang rumahku. Jadi jika air kali meluap pasti masuk kerumah.
    Saat banjir melanda hari sudah mulai gelap aku, bapak, dan ibu hanya bisa meratapi rumah yang terendap air setinggi 30 cm, yang membawa sebagian isi rumah. Tetapi bapak segera bertindak untuk menyelamatkan barang-barang yang hanyut dengan member papan yang di palangkan kepintu, agar air ttp bisa lwt tetapi barang-barang tidak ikut keluar sampai luar rumah. Aku dan ibu hanya terdiam duduk diatas meja dengan selimutan sarung, dan bapak pun setelah memberi palang dengan papan ikut naik ke meja. Karena kedinginan, ibu pun memberinya sarung dan disuruh ganti pakaian. Cuaca di Papua atau di wamena jika malam hari sangat dingin, karena terletak dibawah gunung Jaya wijaya. Tetapi puncak gunung tersebut tidak pernah terlhat walaupun siang hari karena selalu tertutup oleh kabut.
    Selama aku di Papua, aku tidak pernah melihat langsung burung cendrawasih, walaupun itu merupakan burung asal papua dan habitatnya memang di papua. Itu yang masih mengganjal dibenakku sampai sekarang, bagaimana bisa selama 6 tahun tinggal di Papua aku malah belum pernah melihat burung cendrawasih.
    Hari semakin malam, air pun semakin surut. Aku, bapak dan ibu ketempat tidur dan makan malam terlebih dahulu. Sambil memandangi air yang masuk kedalam rumah. Betapa menyedihkan waktu itu. Setelah makan aku sekeluarga pun tidur. Dan menikmati malam yang sangat menyedihkan ini.
    Keesokan harinya air sudah surut, aku sekeluarga pun bersih-bersih dalam rumah karena kotror sekali, penuh dangan lumpur. Begitu juga dengan orang-orang dilingkungan ini, mereka juga membersihkan rumah mereka yang penuh dengan lumpur karena banjir tadi malam.
    “pak rumah kita jadi banyak lumpur begini ya?” Tanya aku kepada bapak. “iya gun… ini karena banjir tadi malam, air tadi malem membawa lumpur ini kesini.” Jawab bapak kepadaku sambil menyerok-nyerok lumpur. Aku pun ikut membantu walau hanya sedikit. Hehe. Waktu itu adalah hari minggu jadi aku tidak berangkat kesekolah. Untung saja banjir semalam tidak tinggi hanya 30 cm. kalau sampai 2 m habis semua barang-barang dirumah ini.
    Setelah semuanya bersih, barang-barang yang tersangkut-sangkut dipintu aku ambil satu persatu, kemudian aku tata kembali ditempatnya masing-masing. Betapa berantakan saat banjir itu melanda rumahku, dan rumah-rumah lainnya juga. Keesokan harinya suasananya sudah kembali normal seperti biasanya, sudah tidak kotor lagi karena lumpur.
    Empat tahun kemudian, ketidak nyamanan tinggal di papua mulai terasa, sering kali terjadi peperangan antar suku. Para pendatang terancam akan dibunuh. Masjid didekat puskesmas dibakar oleh GPK (Gerakan Papua Merdeka), Al-Quran sudah tak berwujud lagi, sajadah sudah menjadi abu, dan masjid sudah rata dengan tanah. Ntah karma apa yang pantas mereka terima atas perbuatan mereka yang mau merdeka sendiri. Tetapi yang seperti itu hanyalah orang-orang dari GPK (Gerakan Papua Merdeka), penduduk asli yang tidak tergabung dalam gerakan tersebut tidak pernah mengusik pendatang, mereka malah senang sekali membantu pendatang, mereka mau dekat dengan pendatang.
    Apa yang dipikirkan oleh gerakan tersebut sangat menyimpang dari pancasila yaitu sila yang ketiga (persatuan republik Indonesia). Jika mereka mendirikan Negara sendiri, bagaimana mereka dapat membangun Negara tersebut, sedangkan mereka masih sangat memerlukan bantuan dari pemerintah. Mungkin bisa menjadi Negara termiskin.
    6 tahun kemudian, bapak sudah memikirkan matang-matang untuk pindah dari papua, karena sudah tidak aman lagi. Semua pendatang terancam akan dibunuh kecuali guru, guru sangat dihormati dan dihargai di Papua, tetapi Bapak tetap merasa takut, siapa yang tidak takut jika sudah terancam seperti itu. Polisi dan TNI sudah tidak berkutik lagi, karena sangat sulitnya mengatasi masalah tersebut, semua aparat nyawanya sudah pada terancam, sehingga para aparat banyak  yang tidak berani bertugas di papua khususnya daerah wamena, Kimbim.
    Tetapi daerah papua yang lainnya seperti Jayapura, sorong, dan yang lainnya mungkin aman-aman saja jauh dari GPK. Di Wamena tempatnya GPK, orang-orangnya sudah terbujuk dan terhasud oleh orang-orang luar, agar menyingkirkan para pendatang, mereka lebih percaya kepada orang luar dari pada sama-sama orang Indonesia.
    Akhirnya aku dulu yang diantarkan pulang ke Jawa oleh bapak dan ibuku. Sebelum itu, dipasar kimbim sebenarnya banyak anak-anak pendatang yang seumuran denganku seperti (Ari) dia anak yang nakal tetapi baik, dia berasal dari Sulawesi. Dan yang kedua (Ahmad) dia anak yang baik, kalahan, gak berani melawan bila ada yang mengejeknya walaupun yang mengejek lebih kecil dari pada dia, dia berasal dari Makasar. Yang ketiga (sauwing) dia paling kecil diantara teman-teman yang lain, dia berasal dari  Sulawesi juga sama seperti Ari. Bapaknya Sauwing adalah orang cina.
    Yang keempat (Ryan) anaknya baik dia sering sekali ditinggal sendirian dirumah, anaknya baik aku suka main bersama dia karena dia mempunyai banyak mainan, bapaknya adalah seorang polisi, aku sudah pernah diajak olehnya mainan senapan angin milik bapaknya, tetapi bapaknya tidak tahu karena bapaknya sedang bertugas. Yang terakhir (Adnan) dia sama sepertiku berasal dari Jawa, anaknya nakal juga seperti Ari tetapi masih lebih nakal, dan dia sangat ceroboh.
    Dia pernah mengajaku bermain dikali belakang rumah, waktu itu arus kali tidak terlalu deras, dia membawa sepedaku dan aku membawa sepedanya. Saat hampir sampai di gorong-gorong bawah jembatan airnya mulai dalam, dia tetap maju dan sampai dia sangat dekat dengan gorong-gorong air didekat gorong-gorong tersebut dalam. Dia terpeleset dan masuk ke air yang dalam itu bersama sepedaku, waktu itu yang aku teriyaki adalah sepedaku. “sepedaku!!!!!!!!!...sepedaku tenggelam!!!!!” teriak aku sambil menangisi sepedaku yang tenggelam bersama Adnan, Adnan terengap-engap tak berdaya didalam air karena dia tidak bisa berenang.
    Karena teriakanku, tidak lama kemudian ada orang  yang datang menolong Adnan dan mengangkat sepedaku.   Orang itu adalah (Buluek) walaupun dia bau, tetapi dia baik hati, dia sudah menolong Adnan dan mengangkat sepedaku, aku sangat senang sepedaku kembali, dan Adnan pun baik-baik saja hanya sedikit sok.
    Saat itupun bapak dan ibuku bersama orang-orang yang ada disekitar situ menuju ke kami, dan orang tuaku memarahi aku karena bermain-main dikali. “Gun!!!! Kamu kenapa main dikali, berbahaya!!!” kata ibu kepadaku sambil memarahi aku, aku pun hanya mendengarkannya sambil telingaku dijewer sampai merah.
    Adnan yang basah kuyup karena tenggelam dikali yang dalam, diantarkan pulang oleh bapak kerumahnya. Sambil menangis karena sok habis tenggelam dikali yang dalam. Kalau saat itu tidak ada yang menolong ntah bagaimana jadinya, nasib Adnan sekarang, tapi kenyataan berkata lain, Adnan masih selamat. Aku pun sudah ketakutan atas kejadian itu, melihat temanku terengap-engap didalam air sedangkan aku hanya bisa teriak.
    Aku tidak tau Adnan dimarahi oleh orang tuannya atau tidak karena aku tidak ikut mengantar dia pulang, aku langsung disuruh masuk rumah oleh ibuku, “pulang kerumah sekarang gun”, begitulah perintah ibu kepadaku sambil menjewerku. “Aduh!! Aduhh!!!! Sakit mak” teriaku sambil kesakitan karena dijewer. “biar kamu tidak ngulangin ini lagi, biar kapok”. Jawab ibu kepadaku seperti meluapkan kekesalanya padaku, makanya aku dijewer. “tapi kan aku cuma ngikutin Adnan mak, bukan aku yang ngajak main kesini” jawab aku membela diri, karena memang benar aku hanya mengikuti Adnan, aku yang diajak olehnya.
    Sampai dirumah, aku langsung membuka pintu kamar tidur lalu naik ketempat tidur, ku baringkan badanku sambil mengingat-ngingat kejadian tadi, aku benar-benar tidak menyangka. Aku seperti dedaunan yang tertiup angin kencang, tidak bisa mengendalikan diri sendiri, bisa-bisanya aku mengikuti Adnan sampai kekali, dan tukaran sepeda juga. Mungkin kalau aku tadi dirumah saja dan menolak ajakan Adnan, mungkin tidak akan terjadi masalah ini,   ya…. Sudahlah yang terjadi biarlah terjadi, yang berlalu biarlah berlalu. Lama-lama aku tertidur dan memasuki kelelapan tidur. Itulah kenanganku saat aku tinggal di Papua tepatnya di Wamena di desa kimbim.

                                                    ***


    Bagaimanakah kisah Gunawan selanjutnya.? tunggu di "Kepakan Sayap Burung Elang" berikutnya
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Mutiara Hitam - Novel Kepakan Sayap Burung Elang Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top